Hari Pertama Lebaran

Minggu (19/8) pagi seusai shalat Id di halaman kantor Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jateng, di kompleks kantor Tarubudaya, Ungaran, aku bergegas ke rumah nenek di Desa Keci, Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang. Saat pulang itu, aku memboncengkan ibu. Padahal saat berangkat shalat, aku sendirian.

Jalanan sepi. Hany beberapa bus yang melintas di jalan raya Ungaran itu. Beberapa orang mengenakan busana serba putih, berjalan di pinggir-pinggir jalan. Mereka usai melaksanakan shalat Idul Fitri.

Hanya sekitar 10 menit perjalanan, aku sudah sampai di rumah simbah. Memarkirkan motor, mengambil piring di dapur, memotong-motong lontong, menaburinya dengan kuah sambal goreng dan opor. Aku makan dengan lahap di depan tivi ruang tamu. Inilah lebaran. Makan enak, santai dan bebas.

Makan sudah, dilanjut ke sarehan di belakang rumah simbah. Di kuburan itu, ratusan orang sudah berkumpul menghadap ke pusara nenek moyang masing-masing. Mereka mengelilingi pusara. Anak, cucu, cicit, duduk melingkar beralas koran. Ada juga yang beralas sendal. Tampak rukun. Mayoritas mengenakan pakaian serbabaru. Aku dan keluarga besar simbah mengikuti seperti orang-orang. Aku duduk menghadap ke persemayaman simbah Damsuki Musyafak, kakekku dari ibu. Selain aku, ada juga Lek Abo, Om Farid, simbah Maryatun, Nadwa, Nela, Dinda, Roy, Dila dan Indi. Sedangkan di belakangku ada Adi, Fajar dan Dian.

Mbah Siswanto, adik Mbah Damsuki, memulai acara dengan bacaan Alfatihah. Dia memimpin bacaan menggunakan pengeras suara. Speaker dihadapkan tepat di hadapanku. Maklum, namanya juga kuburan, tidak ada tempat bagi manusia yang masih hidup. Orang yang masih hidup kudu ngalah dengan orang yang sudah meninggal. Apalagi yang meninggal itu adalah nenek moyang kita sendiri.

Rentetan bacaan seperti tahlil, sholawat nariyah, mengalun dari mulut orang-orang di kuburan. Aku hanya diam, tak mengucapkan kata apa pun. Lafal-lafal itu sering aku dengar saat kecil. Namun siang itu, lafal itu bagai suara asing yang belum pernah kudengar. Samar-samar mulutku ingin melafalkannya, tapi aku tak mantap hati. Mataku melihat apa saja yang bisa kulihat. Warna-warni baju baru orang-orang di kuburan. Komat-kamit mulut membaca doa. Kijing orang meninggal dunia. Taburan bunga di pusara. Orang duduk bersila.

Siang itu tak berkesan apa-apa. Hanya menyisakan dahaga.

Komentar

Posting Komentar